Jakarta, sekitar 2108 Masehi: sebuah kota telah mencetak Habibie-Habibie slenge’an
Bagi pembenci mapel Sejarah dan Matematik, inilah zaman yang paling dinanti-nanti. Semua kurikulum sekolah di evaluasi ulang. Mungkin agak telat jika di hitung sejak runtuh nya rezim Orde Baru di tahun 1998 atau 110 tahun yang lalu. Melalui sebuah riset terbuki bahwa mata pelajaran Sejarah itu hanyala rekayasa rezim yang berkuasa saja. Setiap berganti Presiden (masih percaya saja sama sistem demokrasi), pelajaran Sejarah juga ikut dikoreksi. Begitu juga dengan Matematika, Kimia, dan Fisika yang pada akhirnya toh tidak banyak diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Memang di awal tahun 2000-an telah muncul cikal-bakal sekolah yang kerap disebut off-stream school-menolak persamaan kurikulum. Sebuah pola yang kemudian menjadi mainstream 50 tahun ke depan. Tapi, masyarakat pendidikan Indonesia yang masih bisa berpikir sehat ternyata menganggap pendekata offstream school yang kemudian menjadi mainstream itu hanyalah kepanjangan tangan dari sistem kurikulum sebelumnya yang sama-sama represif.
Sistem itu terbukti sama-sama membuat anak-anak sekolah dihadapkan pada suatu pilihan yang belum tentu keinginan mereka sendiri. Mereka melawan Matematika dengan cara mengajarkan anak-anak itu mapel Olahraga. Pada awal nya memang menarik perhatian, seolah-olah lebih membebaskan. Namun lambat laun para orangtua kecewa karena anak-anak mereka hanya pandai berolahraga, tanpa pintar hitung-menghitung. Ototnya kuat, tp otaknya lemah.
Karena itu, sekelompok pendidik radikal di awal 2108 itu membuat sebuah pola baru. Yang paling mencolok adalah sekolah ini tidak menggunakan seragam. Karena keseragaman dianggap sebagai penyebab utama kenapa orang tidak bisa berpikir kreatif dan merdeka. Mereka juga tidak menggunakan kelas berupa ruangan-ruangan tertutup dibatasi dengan jendela-jendela tinggi, yang dari luar ataupun dalam ruangan itu tampak membosankan.
Mereka merancang “kelas” di sebuah taman rakyat (untuk pelajaran “I Can’t Paint”, semacam pelajaran Seni Lukis), di depan pasar kumuh (untuk pelajaran “Why Economy?”), di peternakan sapi (untuk pelajaran “Smells Like Biology), di pelataran pabrik (untuk pelajaran “Communism is Not Dead Yet”, semacam mapel SOSPOL), di kebun apel (untuk pelajaran “Newton Was Here”, alias Fisika, dan di area parkir sebuah bank milik asing (untuk pelajaran “Fuck Maths”)
Para siswa yang bosan belajar dikandang sapi boleh loncat memilih kelas di area parkir sbuah bank asing. Mungkin siswa yang terlalu lama belajar di kebun apel bisa masuk ke pelataran pabrik dan bisa bebas mencoba mengombinasikan mapel Fisika, SosPol, dan Matematik menjadi “Are You Sure Communism is Not Dead Yet, Because Newton wasn’t Here? Well, Fuck Maths!”. Whatever, dia bisa mencoba membuktikannya sendiri secara empirik.
Para siswa yang tidak berseragam itu juga tidak duduk rapi teratur dalam baris-baris meja seperti ratusan tahun sebelumnya. “Kelas” bisa terlihat seperti suasana latihan para atlet gymnastik, setiap siswa boleh mencoba kesibukan nya masing-masing. “Guru” juga bukan orang yang berdiri melakukan monolog di depan kelas, karena tidak ada ruang yang benar-benar bisa disebut “depan kelas”.
Situasi seperti itu sengaja diciptakan agar para siswa benar-benar bisa masuk ke dalam esensi pelajaran yang di berikan. Jadi, tidak ada lagi guru bertanya dan murid malu-malu untuk menjawab. Yang terjadi justru sebaliknya: murid bertanya dan guru kewalahan menjawab. Inilah cita-cita Cara Belajar Siswa Aktif Atau CBSA, yang dari dulu hanya berakhir pada kenyataan Catat Buku Sampai Abis belaka.
Inilah zaman saat para orangtua tidak lagi perlu repot di gerecoki pekerjaan rumah anaknnya karena tidak ada lagi PR yang menjekelkan itu. Semua pekerjaan diselesaikan di sekolah tak beratap. Tentu pola baru ini tidak dengan mudah diadaptasi begitu saja. Hanya para orangtua yang cerdas yang berani menyekolahkan anaknnya di tempat se-ekstrem itu sebab, salah-salah, sistem seperti ini malah menyulitkan jika si anak memang dasarnya bego. Sekolah ini hanya cocok untuk mereka yang dasarnya memang suka mencari dan berpikir liar. Bagi mereka yang kurang kreatif, sekolah semacam ini hanya akan membuat mereka melongo saja sambil bertanya-tanya dalam hati, “Ngapain aku ada di kandang sapi, ya?”.
Namun, sebelum berhasil membuktikan dirinya berhasil mencetak Habibie-Habibie nyeleneh, sekolah yang belum mendapat izin resmi pemerintah ini di protes banyak kalangan. Terutama dari orang-orang di pasar kumuh yang tergannggu pekerjaan nya, manajemen di bank asing yang lahan parkir nya diganggu, dan pemilik peternakan sapi karena sapi-sapi nya jadi malas makan dan kurus-kurus akibat selalu dijadikan bahan percobaan. Juga para orangtua yang mengeluh karena anaknya jadi lebih suka merusak sesuatu daripada menciptakan nya. Untuk itu, ikuti pendapat Kepala Sekolah On-Off Stream ini kepada sebuah majalah EduTaiment
Anda yakin metode ini akan berhasil?
Yakin. Saya sendiri telah membuktikan pada diri sendiri. Ini adalah pola belajar saya sejak dulu, menolak ruang kelas. Buktinya, sekarang saya dinobatkan sebagai pengajar paling aneh seIndonesia. Itu tanda keberhasilan juga kan?Tapi kenapa kandang sapi?
Ya, mendingan kandang sapi, daripada kandang babi? Waktu itu pernah ada yang usul kenapa tidak belajar di kandang harimau saja? Saya jawab, itu bukan ruang pembelajaran, tapi ruang pembantaian. Kalau sapi kan binatang yang cupu dan lugu.Bagaimana tanggapan Anda yang menyebut Anda sebagai pengajar yang “tidak bermoral”?
Ya, look whose talking lah. Secara gitu loh, dia sekolah nya aja dulu di manaApa yang akan Anda lakukan kalau dipercaya sebagai Menteri Pendidikan?
Wah, itu pertanyaan yang susah Mas. Sebagai Kepala Sekolah ini saja, saya bingung harus kemana setelah ini? Lah, terus terang saja ini kan proyek pesanan seseorang yang ingin menjadi Menteri Pendidikan dengan cara memberangus sekolah-sekolah aneh. Supaya terkesan dia adalah seorang pahlawan dunia pendidikan.
P.S : Sebuah ptongan cerita dari buku berjudul Black Interview 😀
Entah kenapa saya justru melihat ini menyindir orang-orang yang tak setuju dengan metode kelas konvensional seperti sekarang. 😕 Apalagi setelah baca interview kepala sekolahnya. 😛
Praktek tanpa teori itu kan sulit. 😉
Entah kenapa saya justru melihat ini menyindir orang-orang yang tak setuju dengan metode kelas konvensional seperti sekarang. 😕 Apalagi setelah baca interview kepala sekolahnya. 😛
Praktek tanpa teori itu kan sulit. 😉
nice..
salam kenal 🙂
Buset panjang.. Kapan2 ae
Klo gk ada ruang kelas, kpn lg ada kesempatan duduk sebangku dgn gadis pujaan 😀
kegunaan sekolah konvensional :
– bikin liburan terasa indah : sekolah bebas mah libur gak libur podo ae
– bisa membully guru : secara sang guru ‘dipaksa’ terkurung di kelas dalam jangka waktu tertentu menghadapi kita2 wahaha
– tempat pedekate yang oke : duduk berdekatan dalam waktu lama mau nggak mau pasti ngobrol, ngobrol bikin makin akrab, klo udah akrab bisa (lanjutin ndiri, use your wildest imagination)
– bikin lebih kreatif : bosen ndengerin guru? inilah saat dimana kita kreatif melakukan aktivitas2 lain tanpa mengundang kecurigaan guru
kalau sekali-kali pakai gaya sekolah alam aka tidak konvensional sih nggak ada salahnya, sekalian untuk mengenal lingkungan sekitar dan belajar menerapkan ilmu yang kita miliki. Tapi, kalau harus setiap hari sepertinya akan membosankan juga. Tampaknya sekolah gaya konvensional lebih asyik, walaupun kita harus ‘terkurung’ selama beberapa jam di kelas.
hmm…. memnurutku sih sama aja…, terngantung mood aja deh, kalo bisa ada 2 macam biar si murid2 gk bosen gitu… 😀
hmm… aku nggak ngerti
shit. i dont understand at all.
*teringat tumpukan draft nomer 2*
mimi…. tadi aku sempet ngira mimi yg bikin…atau black interview itu memang ada ya… keren kata2nya…
jd inget waktu nonton ludruk ITB feat sujiwo tedjo (dgn megap2 berusaha mengerti secara bhsnya indonesa campur jowo) yg dengan konyolnya menyindir pemerintahan dengan bahasa lucu nan cerdas dgn perumpaamaan hewan2 dan para raja2 dunia…
I love your site! 🙂
_____________________
Experiencing a slow PC recently? Fix it now!
sekolah diatas sih bikin perusak-perusak kreatif yang mungkin jadi pencipta suatu hari nanti 😀 (entah new-fuhrer?)
Let’s burn our school!
Berhasil atau tidaknya relatif.
Eee.. Black Interview? Pinjem! 😛
Hmm koreksi dikit cc remi..
“Mungkin agak telat jika di hitung sejak runtuh nya rezim Orde Baru di tahun 1998 atau 110 tahun yang lalu.”
itu 10 taun lalu.. bukan 110..
haha iseng aj kasih koment.. jgn dianggep nge junk ya..
===========
btw, blog cc bagus banget.. gurunya adip ya ?? 😛
*ditembak 101 misil sama adip*
huhuhu..
aku jadi kangen guru Sejarahku dulu.. :p
mimi nya mana????
lha percakapan itu kan khusus buat yang di jakarta 100 tahun ke depan, bukan di bengkulu 😉
Nyeleneh bngt ya?
Tapi ya sapa tau emang bs sukses….
nice..
salam kenal 😀
http://joshuapanji.blogspot.com